ANALISIS DIBALIK HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA




JEBAKAN HUTANG INDONESIA
(ANALISIS DIBALIK HUTANG LUAR NEGERI)
Oleh : Ruslin


A.           Pengantar
Jumlah Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah pusat terus bertambah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), jumlah utang pemerintah di akhir tahun 2014 tercatat Rp 2.604,93 triliun. Dan hingga akhir Mei 2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3.672,33 triliun. Jumlah utang luar negeri RI meningkat hingga Rp 1.067,4 triliun sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 hingga Mei 2017. Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, beberapa utang jatuh tempo dalam periode dua tahun ke depan, yakni 2018 dan 2019. Dalam rincian DJPPR, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp 420 triliun. Jika dijumlah, sekitar Rp 810 triliun. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.[1]

B.            Defisit Anggaran dan Lilitan Hutang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara besar yang jumlah penduduknya menduduki urutan ke empat terbesar di dunia dan bahkan pernah menduduki urutan ke tiga. Selain itu indonesia juga merupakan negara besar yang dapat diukur dari luasnya wilayah serta luasnya lautan yang mengandung sumber daya alam yang luar biasa. Sejak Indonesia merdeka dari tahun1945 indonesia masih tetap saja menjadi negara indonesia yang selalu mengalami defisit anggaran serta lilitan hutang. Indonesia bagaikan pohon besar, berdaun lebat dan subur kelihatan dari jauh. Namun sesungguhnya jika dilihat dari dekat pohon tersebut telah dililit tumbuhan lain yang setiap hari mencari makanan pada tubuh pohon tersebut. Begitu indonesia yang sesungguhnya, terlihat besar, subur dan memiliki potensi sumber daya alam yang patut dikagumi namun defisit anggaran dan lilitan utang yang semakin  tak mengenal ujung lelahnya.
Setiap tahun Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara (APBN)  selalu mengalami defisit. Pada Tahun 2013 mencapai 211,7 triliun, Tahun 2014 mencapai 226,7 triliyun, tahun 2015 mencapai 298,5 triliyun, tahuan 2016 mencapai 307,7 triliyun jumlah ini kemudian konsisten naik lagi pada pada postur APBN 2017 yang defisitnya direncanakan  mencapai Rp 330 triliun. Rasio Defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 2,59% Pada tahun 2015, tahun 2016 sebesar  2,46% dan tahun 2017 ditetapkan 2,92m dari PDB.[2] Defisit Anggaran tersebut akan kemudian ditutupi oleh Pos Pembiayaan yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN), Utang Dalam Negeri, dan Utang Luar Negeri.

RAPBN-P tahun 2017 memproyeksikan total belanja Negara mencapai Rp.2.111 triliyun sementara pendapatan hanya Rp.1.750 triliyun. Kondisi defisit ini sangat menghawatirkan banyak orang sebab batasan defisit yang diatur dalam Undang-Undang yakni hanya sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sekarang hampir mencapai angka tersebut, hal ini akan diperburuk lagi nanti apabila target penerimaan pajak tidak terealisasi. Pasalnya target Penerimaan Pajak dipangkas oleh pemerintah dari Rp.1.498,9 triliyun menjadi Rp.1.450 triliyun sementara asumsi pertumbuhan ekonomi justru dinaikan dari 5,1% menjadi 5,2%.[3]
Hal ini merupakan anti teori bagaimana bisa penerimaan Negara kecil sementara pertumbuhan ekonomi justru dinaikan, mustinya penerimaan Negara dalam bentuk pajak justu dinaikan. Kondisi inilah yang memaksa pemerintah menutup defisit anggaran dengan banyak berutang untuk membiayai program maupun proyek melalui lembaga pendonor seperti IMF (International Monetery Fund), World Bank, Consultative Group On Indonesia (SGI), IDB (Islamic Development Bank), ADB (Asia Developmen Bank), Kreditur Bilateral Seperti Jepang, Jerman, Prancis, Amerika, Cina, dll.

C.           Gali Lobang Tutup Lobang
Selama ini indikator untuk menilai sehat atau tidak sehatnya posisi utang dalam suatu negara selalu merujuk pada konsensus internasional yang melihat rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi angka 60%. Dari indikator ini, Indonesia boleh dikatakan relatif aman karena tren indikator rasio utang terhadap PDB selama lima tahun terakhir cenderung menurun. Rasio utang terhadap PDB yang pada 2014 sebesar 24,7% naik menjadi 26,8% pada 2015 kemudian naik lagi 27,0% pada tahun 2017 Selain itu rasio defisit juga masih aman menurut konsesus internasional karena masih berada di bawah angka 3% namun hal ini sangat mengkhawatirkan.
Dari indikator tersebut, pemerintah memang tampak telah mengelola utang dengan baik. Akan tetapi, jika dilihat dari indikator lain, pengelolaan utang nasional tidak sepenuhnya aman. Selama lima tahun ke belakang, nilai nominal utang Indonesia sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 utang pemerintah mencapai angka Rp 2.609 triliyun, angka ini kemudian terus bertambah setiap tahun hingga mencapai Rp 3.098 triliyun pada 2015 dan Rp.3.429 triliyun pada tahun 2016. Bertambahnya nilai utang negara akan menimbulkan konsekuensi terhadap penambahan bunga utang pada APBN di tahun-tahun berikutnya. Selama periode yang sama, bunga utang pemerintah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari Rp 118,4 triliyun pada 2014, Rp.141,2 triliyun pada tahun 2015 hingga mencapai Rp 184 triliun pada 2016. Dalam APBN-P 2017 bunga utang pemerintah malah mencapai Rp 221 triliyun.[4]
Dalam teori ekonomi kondisi ini disebut dengan Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan pokok beserta bunga utang yang dibayar, semakin bertambah banyak pula utang yang menumpuk. Dengan bahasa yang lebih sederhana kita seperti mengikuti istilah “gali lobang tutup lobang”, pinjam uang untuk bayar utang. Hal tersebut sepenuhnya kita sadari bahwa kita sekarang tengah berada dalam sistem kapitalisme global.
D.           Analisis di Balik Hutang Luar Negeri
Utang luar negeri hakikinya adalah penjajahan gaya baru yang dibuat oleh negara-negara Barat kapitalis terhadap negera-negara Dunia Ketiga yang se­sungguhnya amat kaya dengan sumber alamnya. Terbukti bahwa keadaan negara-negara pengu­tang tidak lebih baik dibanding­kan sebelum mereka berutang. Kata-kata manis yang mengubah istilah utang dengan ‘bantuan luar negeri’ tidak mengubah wa­jah sebenarnya dari utang luar negeri, yaitu pemerasan keka­yaan negara-negara Dunia Keti­ga oleh negara-negara kapitalis Barat, dan menciptakan keter­gantungan negara-negara miskin terhadap negara-negara maju.
Mekanisme utang luar negeri telah mengakibatkan bahaya dan kerusakan bagi negara-negara pengutang. Secara ekonomi fenomena utang luar negeri hanya mengakibatkan makin terinjaknya kaum lemah hingga jauh melesak di bawah garis kemiskinan. Mekanisme utang luar negeri tak ubahnya sebagai proses pemiskinan negera- negara dunia ketiga  bahkan Negara maju sekalipun. Hal ini bisa kita lihat dari krisis utang yang dialami Negara Yunani baru-baru ini.

E.            Pandangan Islam Terhadap Hutang Luar Negeri
Hukum terkait utang terhadap individu hukumnya mubah kepada siapa saja dengan nilai berapa saja pada sesama rakyat ataupun asing, hanya saja apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut mengandung bahaya sesuai kaidah syara hukumya berubah menjadi haram.
Adapun berhutangnya negara seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang urgen apabila ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka hal itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada harta dan itu dalam kondisi darurat.
Inilah dibolehkannya negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang. Misalnya untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, namun tanggungjawab baitul mal dalam hal ini negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Apalagi penanaman modal asing hal itu tidak dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing larangan tersebut karena mengantarkan pada perbuatan yang haram.[5] Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham ataupun utang untuk investasi pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan. Dengan demikian, hutang luar negeri dengan segala bentuk  dan derivatifnya harus ditolak sehingga kita tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak.

F.            Khatimah
Sistem ekonomi kapitalis berbasis ribawi ini adalah sistem yang rusak, cacat bawaan yang tidak akan pernah bisa diperbaiki kecuali dengan solusi lain, satu-satunya solusi bagi perekonomian dunia adalah kembali pada sistem Islam yang  adil. [Waullahu a’lam bishawab]


[1] Jakarta Kompas.com – diakses 5 Agustus 2017
[2] Kemanterian Keuangan, DJPPR : Profil Utang dan Pinjaman Pemerintah Tahun 2017
[3] Jakarta Kompas.com – diakses 5 Agustus 2017
[4] Kemanterian Keuangan, DJPPR : Profil Utang Pemerintah Pusat 2016
[5] Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulatil Khilafah

Komentar